Ini malam ke 260 setelah keputusan sidang itu. Leganya aku bisa lepas dari cengkramanmu. Tapi bencinya aku yang tak bisa melepaskan pikiran tentangmu.
Untuk apa aku peduli pada apa yang tak seharusnya kupedulikan...
Ku tarik laci meja, mengambil sebuah kertas remuk hasil remasanku sendiri. Kertas surat yang tak sanggup sampai ke tangan tujuannya. Kurapikan perlahan.
Dan mulai membaca...
Kamu perlu tahu.
Keputusanku ini sudah bulat.
Semoga kamu bisa mengerti.
Ini semua juga karena kamu.
Kamu yang egois. Tak mau peduli apa isi hatiku. Waktumu habis di meja kerja, ketimbang jalan bersamaku.
Kamu hanya menuntutku untuk bersabar dan bersabar.
Selalu saja melarangku melakukan yang lebih dari kemampuanku.
Kamu terlalu cuek dan tak pernah punya keinginan untuk ku berikan hal yang spesial.
Kepalamu penuh dengan prinsip-prinsip yang sulit ku mengerti. Kemana jalan pikiranmu pun sulit kulacak.
Aku benci diam mu diantara jeritanku.
Kamu biarkan aku tersiksa dalam penyesalan atas segala tuduhan yang ku semburkan padamu.
Kamu malah balas menyerangku begitu tajam dengan semua senjata cintamu.
Kamu begitu keras dan tak pernah mau menyerah untuk mempertahankan adanya kita.
Kamu sungguh nekat, berani mencintaiku. Sungguhpun kamu tahu, adalah aku seorang yang keras diluar namun lemah di dalam.
Dan kamu tega menjadikanku sasaran utama di setiap motivasi hidupmu.
Seenaknya saja kamu meluapkan keluhan tentang betapa tak bergunanya lagi semua, tanpa adanya aku.
Kamu terlalu pelit memberikan peluang untukku menemukan kurangmu.
Kamu dengan sembrono meninggalkan bekas-bekas kenangan indah di kepalaku.
Aku benci caramu mencintaiku. Aku benci menerima kenyataan bahwa aku pun mencintaimu.
Jadi mungkin lebih baik aku keluar dari kehidupanmu.
Tak perlu kau sesalkan semua yang terjadi antara kita. Anggap saja tak ada. Tak pernah ada. Satu-satunya yang kusesali adalah saat aku mengenal cintamu.
...Mataku memberat. Untuk kesekian kalinya kuyakinan diri, ada yang salah dengan tulisanku itu.
Ku angkat kepala tinggi-tinggi, menengadah ke atap rumah demi berjuang keras menahan gumpalan air yang menggenang di pelupuk mata. Sambil berharap gumpalan air ini adalah kamu. Yang masih terus hadir saat sedihku, seberapapun kuatnya penolakanku.
Ku tahan mata agar tak terpejam meski perih dan semakin memburam.
Karena jika sampai genangan itu keluar, maka mustahil untuk bisa masuk kembali.
Tahan air matamu... Tahan...