Curhat tentang ‘The hard-line Islam Defender Font’
“Aku
mau minta bantuan ke FPI”
Kalimat yang keluar dari mulut suamiku siang itu sungguh membuat hati semakin runyam. Karena memang keluar dari mulut orang yang sedang runyam. Sudah seminggu ini perasaan takut mendera seluruh penghuni rumah kami. Sejak kedatangan enam preman (yang kebetulan bersuku ambon) datang mengancam kami dengan alasan yang tak mungkin kujelaskan di sini. Yang jelas, Orang tuaku, suamiku, dan aku sendiri --yang menjadi penadah tampias sasaran preman-preman itu-- berani berkata dengan tegas “kami tidak bersalah!”.
Kalimat yang keluar dari mulut suamiku siang itu sungguh membuat hati semakin runyam. Karena memang keluar dari mulut orang yang sedang runyam. Sudah seminggu ini perasaan takut mendera seluruh penghuni rumah kami. Sejak kedatangan enam preman (yang kebetulan bersuku ambon) datang mengancam kami dengan alasan yang tak mungkin kujelaskan di sini. Yang jelas, Orang tuaku, suamiku, dan aku sendiri --yang menjadi penadah tampias sasaran preman-preman itu-- berani berkata dengan tegas “kami tidak bersalah!”.
Minta
tolong pada FPI sebenarnya sudah jalan terakhir menurut kami. Setelah sekian
banyak ancaman melalui sms dan kedatangan preman-preman yang membuat heboh lingkungan kami. Sempat suamiku meminta bantuan pada
kenalannya yang juga bersuku ambon dan berprofesi sama. Tapi ternyata
kenalannya itu malah berbalik memburunya, dengan alasan mencari jalan
negosiasi. Padahal tak lain maunya. Uang. Suamiku pun berkali-kali melapor
polisi sampai mendatangi markas polisi militer. Tapi mereka tak bisa berbuat
apa-apa selama tak ada kerusakan ataupun kekerasan. Beban psikis yang kami
alamipun tak terhitung. Ayah kami yang tak pernah sama sekali berurusan dengan
pengancam model begitu jadi begitu shock. Ia jadi tak nafsu makan dan tak bisa
tidur. Sibuk memikirkan cara yang baik untuk menghentikan mereka. Bukan mereka
tidak pernah melalui upaya damai. Membicarakan masalahnya
baik-baik kepada para pengancam, bahkan langsung ke pesuruh mereka pun sudah dilakukan. Tapi upaya
itu di tolak mentah-mentah. Masing-masing pihak merasa benar. Akhirnya suami meminta ibu dan aku untuk sementara menginap di rumah abangku. Ayahku
sudah lebih dulu menginap di rumah adiknya. Kalau bukan karena demi ketenangan jiwa anak kami, aku tak akan mau mengungsi demi menghindari orang-orang ambon
itu. Wong kita nggak bersalah?!
Sementara kami
mengungsi, suamiku nekad mendatangi markas FPI di daerah petamburan. Antara
rela - tak rela membiarkannya ke sana. Karena aku sendiri tidak setuju pada
sikap FPI yang ku tahu selama ini melalui media televisi. Mereka terlihat keras. Main hantam. Senang
ribut. Aku tidak ingin keluarga kami terjebak dalam lingkungan seperti itu.
Tapi suamiku meyakinkan bahwa ini jalan terbaik. “Kalau tertimpa musibah,
seharusnya kita nggak minta tolong sama setan, minta tolong sama ALLAH. Ke
sesama muslim, yang udah jelas akan minta pertolongan ke ALLAH juga” begitu
katanya. Akhirnya, dengan hanya bermodal satu kenalan saat demo anti liberalisme (saat itu suamiku memiliki komunitas band metal anti satanisme dan liberalisme, bisa dibilang) –itupun lupa mencatat
nomor teleponnya-- suamiku menyampaikan
maksud dan tujuannya di markas besar ORMAS yang terkenal biang rusuh itu. Benar saja, pulang ia tak membawa hasil apa-apa. Hanya nomer telepon kenalan suamiku itu
yang ternyata juga tidak aktif. Tapi tak disangka, keesokan harinya orang itu
menelepon balik. Dan mengundang suamiku untuk datang ke rumahnya.
Dua hari kemudian ia mengajak suamiku untuk bertemu teman-teman pengacara sesama anggota FPI. Sepulang dari sana suamiku begitu antusias menceritakan betapa besar kepedulian mereka pada masalah kami. Mereka siap membantu dan dengan jelas menyebutkan tak akan meminta biaya apapun untuk itu. Yang mereka niatkan hanya satu, menolong keluarga kami yang sedang terzholimi. Dalam hati miris sendiri, bahkan beberapa polisi yang diminta datang ke rumah saat orang-orang ambon datang pun tak bisa berkata demikian. Malah menerima tips pemberian ayahku, meski mereka tidak meminta.
Keesokan
harinya keluarga kami langsung mendapat surat kuasa bertanda tangan lima
orang kuasa hukum FPI. Setelah itu kami dapat kembali ke rumah dengan lega.
Menanti tindakan selanjutnya jika orang-orang ambon tersebut tak mau terima adanya
surat kuasa tersebut.
Esoknya lagi, kami diundang untuk datang ke rumah pendiri FPI untuk membahas hal ini.
Habib Rizieq sendiri yang meminta kami turut serta dalam rapat anggota FPI yang
membahas masalah-masalah intern mereka. Dibiarkannya kami mendengar semua
permasalahan yang sedang mereka hadapi, dan rencana kegiatan mereka
selanjutnya. Bahkan permasalahan kami yang (ternyata) tak ada apa-apanya dibandingkan
beratnya masalah-masalah mereka, dijadikan salah satu poin yang di bahas dalam
rapat tersebut.
Rapat
tersebut selesai saat adzan maghrib. Seusai sholat, kami mendengar Habib muntah-muntah di toilet. Rupanya beliau sedang sakit. Tak berapa lama
Habib keluar lagi dan bergabung bersama kami. Hari itu memang dibuat agenda sekaligus pertemuan antara komunitas kami--band anti liberalisme-- dengan FPI. Untuk silaturahim, menyatukan visi- misi. Agar satu tujuan dan pergerakan bisa lebih terarah. Maka malam hari itu barulah berdatangan saudara dan teman-teman seperjuangan kami. Merekapun duduk bersila,
melingkar di atas karpet musholla yang lebih terlihat seperti aula atau garasi
besar. Aku yang perempuan hanya bisa memperhatikan dari barisan belakang. Kuperhatikan sesekali sosok seorang Habib Rizieq yang kontroversial itu. Tak pernah sedetikpun senyum itu lepas dari mulutnya. Semua ucapannya tegas, lugas, namun santun dan syarat makna. Penampilan
suamiku dan para sahabatnya yang berambut gondrong, berbaju hitam, bahkan ada
pula yang berambut merah, tak pernah mengusik mata Habib Rizieq. Begitu sejuk terasa pertemuan malam itu. Saling bertukar pikiran, saling meng-update pengalaman yang mereka temui. Hambatan dan solusi semua dijabarkan dengan komunikasi yang tidak berat sebelah. Kemana kesan kasar dan keras yang kubayangkan sebelumnya? Tidak pun terlihat seperti orang yang baru saja muntah luar biasa. Caranya menjelaskan
pengalaman menghadapi fitnah membuatku malu sendiri. "Fitnah
sudah menjadi makanan kami sehari-hari. Kami tidak pernah mempermasalahkan hal
itu. Cukup tanggapi seperlunya, sesuai kebutuhan. Karena jika kami terus-menerus berkutat di situ, terus-menerus mencoba meng-klarifikasi, kami akan ketinggalan. Sementara masih banyak sekali yang lebih penting yang harus
diurusi." Begitu kira-kira sedikit penjelasannya yang paling kuingat.
Beliau juga
menjelaskan bahwa kejadian baku hantam yang mereka lakukan adalah sebagai
upaya terakhir. Karena pihak lawan (seperti bandar judi terbesar,
diskotik-diskotik yang mengabaikan peraturan) tak menggubris peringatan mereka.
Polisi pun tak ada yang berani turun tangan. Lebih dari itu, ia juga
menceritakan mengapa pemerintah sampai tak bisa membubarkan FPI. Adalah karena
mereka pun sering meminta pertolongan FPI, jika sudah tak ada lagi yang bisa
diandalkan.
Cerita mengenai pengalaman mereka memberikan perlindungan pada warga Mesuji yang mayoritas hindu, menolong pengusaha cina yang diperas hartanya dan di zhalimi, jelas sekali menunjukkan bagaimana seharusnya istilah ‘toleransi beragama’ dijalankan.
Cerita mengenai pengalaman mereka memberikan perlindungan pada warga Mesuji yang mayoritas hindu, menolong pengusaha cina yang diperas hartanya dan di zhalimi, jelas sekali menunjukkan bagaimana seharusnya istilah ‘toleransi beragama’ dijalankan.
“Ana
mau bantu mereka, karena apa? karena mereka benar, dan mereka terzholimi. Apa
ada media yang memberitakan hal itu?... Tapi kita nggak mau mempermasalahkan.
Cuma sekarang kami jadi nggak percaya sama media. Bukan sama jurnalis, mereka
udah jalanin tugas, sesuai, bekerja dengan baik. Tapi begitu di setor ke
atasan, yang terbit hanya sebagian kecil. Isinya negatif. Makanya kami nggak
mau terima jurnalis manapun, kecuali dari media terpercaya seperti Suara Islam, salah satunya.” senyumnya tersungging
lebar.
“Makanya
ana sangat bersyukur ada anak-anak muda seperti antum sekalian. Yang berjuang
untuk Islam melalui jalannya masing-masing. Yang punya kemampuan bermusik,
majulah dengan musik. Yang sutradara lewat film. Itu bagus sekali. Ana dukung
Insya ALLAH. Ana nggak anti musik. Milad FPI nanti akan ada pertunjukan teater
dan musik. Kita nggak pernah mengharamkan musik. Cuma bagaimana caranya bisa
meng-islami musik tersebut. Asal jangan antum sekali gebuk drum seratus orang
langsung mabok...” Semua yang hadir tertawa. Terasa sekali keakraban malam itu.
Tak ada kepura-puraan. Yang ada hanya ketulusan. Dan kuyakin semua yang hadir
setuju denganku.
Sejak
Isya hingga hampir jam sepuluh malam mereka bertukar pikiran. Tak satupun
makanan dan minuman tersentuh tangannya. Malah sempat-sempatnya beliau membantu anakku yang sibuk berusaha membuka kaleng biskuit di depan beliau. (Lagi-lagi ibunya malu sendiri). Beberapa kali kulihat beliau dihampiri dari belakang untuk mengingatkannya makan. Tapi beliau tak berkutik sedikitpun
dari duduknya. Terus menjawab semua pertanyaan tamunya hingga tuntas. Di
akhir perbincangan, ia membagikan buku setebal 202 halaman yang merupakan buah
pikirannya terhadap kondisi Indonesia saat ini. Betapa Selama ini muslim dibuat takut dengan hukum agamanya sendiri. Dibuat seolah hukum islam itu kejam, sadis. Padahal hukum mana yang bisa melebihi keadilan hukum Allah S.W.T ?
Mungkin
beberapa dari kalian yang membaca tulisanku ini akan curiga bahwa aku adalah salah satu mujahidah FPI. Mungkin ada misi terselubung dari tulisanku ini. Katakanlah demikian. Akupun berharap demikian. Tapi ini usaha terlemahku untuk bisa berhasil mendapat predikat mujahidah. Betapa mulianya predikat tersebut, peduli amat dibilang pasukan garis keras. Keras terhadap kebathilan adalah kebaikan. Silahkan katakan pikiranku telah terdoktrin oleh virus-virus pemikiran FPI. Kalau memang ada yang bisa membuktikan dengan lebih meyakinkan lagi padaku bahwa pemikiran Habib Rizieq adalah virus yang wajib diberantas, silahkan tunjukan. Selayaknya sholihin kita harus selalu terbuka pada kebenaran. Namun hingga saat ini, tulisan inilah yang menjadi saksi sejauh mana kebenaran yang kudapat. Apa yang kuceritakan ini tak ada
sedikitpun yang merupakan karangan. Semua terjadi begitu adanya. Aku bukanlah anggota dari ORMAS FPI. Karena kenyataanya, untuk menjadi anggota FPI tak semudah membuat KTP di kelurahan (kalau menurut kalian itu mudah). Perlu persyaratan tertentu dan membutuhkan waktu cukup lama (tahunan) untuk mendapatkan kartu anggota yang bertuliskan peraturan-peraturan yang membuatku ciut sendiri. Namun jika dibilang simpatisan, aku tak menolak. Aku tak akan malu mendukung sebuah organisasi yang istiqomah memperjuangkan ISLAM dan begitu peduli terhadap saudara-saudaranya, yang baru di kenalnya sekalipun. Sampai tulisan
ini kubuat, masalah yang kami alami masih menggantung. Tapi pihak FPI siap
melakukan apapun untuk keamanan dan ketenangan kami. Termasuk menyiagakan laskar
di rumah kami, bahkan membawa kasus ini ke jalur hukum jika memang perlu. (Oh iya, beberapa hari setelah pertemuan itu rumah kami sempat didatangi berpuluh pasukan lasykar, hanya untuk menunjukan bahwa mereka siap mendukung kami.)
“Apapun
masalahnya, apalagi sesama saudara muslim, Insya Allah kami bantu. Semampu
kami. Kecuali kalau udah diluar batas kemampuan kami, Ana angkat tangan deh, Ana nyerah. Tapi selama masih bisa, Insya ALLAH kami bantu” ucapan terakhir Habib yang tidak akan pernah bisa kulupakan.
Kami
pulang dengan perasaan lega, kagum, sekaligus malu (untuk yang ini khusus
perasaanku saja mungkin). Aku malu. Bahwa selama ini, bahkan perintah
ALLAH S.W.T untuk bekalku sendiri saja masih minim sekali kulaksanakan. Tapi
baru terkena masalah sedikit, mudah sekali hati ini mengeluh. Seberapa
kecilnyakah amalku jika dibandingkan perjuangan Habib Rizieq menolong agama
ALLAH? seberapa kecilnya peranku untuk menjaga Islam ini tetap bersih hingga ke
tangan anak-cucuku sendiri? Padahal Habib Rizieq ini hanya merupakan cerminan kecil
dari sempurnanya sosok Muhammad Rasulullah S.A.W. Allahumma Sholli 'Ala alaih, wa 'ala alii 'alaih.
Maka
selemah-lemahnya aku, sekecil-kecilnya amalanku, aku bertekad untuk menyebarkan
cerita ini. Dan berharap dalam hati, semoga dapat turut menolong agama ALLAH
dengan menjaga nama baik hamba-Nya yang berikhtiar di jalan-Nya. Meski hanya
lewat tulisan ini.
Tengerang, 06 mei 2012
Ketika para
penguasa Dunia Islam tidak merasa terancam negerinya dan kekuasaannya dengan
perjuangan penegakan Khilafah Islamiyyah, maka mereka akan mau mendengarkan dan
mengkaji tentang apa dan bagaimana konsep Khilafah Islamiyyah.
-kutipan
dari halaman terakhir buku ‘Hancurkan Liberalisme Tegakkan Syariat Islam’
karya Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husain Syihab-
karya Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husain Syihab-
Tsabit
qolbi ‘aladdinik.
Tsabit
qolbi ‘aladdinik.
pressure FPI menerapkan nilai islami pada kehidupan sosial dan bernegara tidak berarti disampaikan kepada para pengelola negara karena telah jelas korupsi di indonesia terstruktur atas kerja sama berlomba-lomba korupsi dari istana hingga pejabat daerah. FPI harus turut berpolitik terlebih pada 2014 untuk efektifitas perbaikan negara bila memang bisa sebagai harapan muslim indonesia dengan semoga tidak seperti parpol muslim yang beberapa kali masuk suara pemilu 5 besar ternyata sama brengseknya dengan parpol lain ....demi allah tolong jangan rangkaian kalimat saya ini hanya sebagai bacaan saja ..penyalahgunaan amat para pejabat hingga menimbulkan kezhaliman besar ..kasihanilah saudara-saudara kita yang hingga mengalami makan nasi aking dan saudara-saudara kita yang putus sekolah. setidaknya pula pesan saya ini bisa disampaikan kepada habib rizieq syihab.
ReplyDeletejadi tolong sampaikan padanya yaa!
aku menungguuuu!!