Siang yang panas. Deru debu menguap di sepanjang terminal blok M.
Kehadiran Kopaja mengakhiri penantian separuh waktu
di trotoar.
Masih tersisa beberapa bangku kosong. Kupilih yang
dekat dengan pintu keluar agar kaki masih bisa bernafas lega meski masih harus
menekuk.
Kopaja melaju lambat seperti gajah yang tak kuat
menahan berat bobotnya sendiri.
“Kak,
ini bener bis ke depok kan ya?” tiba-tiba terdengar suara persis di sebelahku.
Aku mengangguk. Pikiran yang telah jauh lebih dulu tiba di tempat tujuan, dengan
secepat kilat tertarik kembali ke kepala yang mulai lembab tertutup kerudung di
dalam bis sehangat ini.
Si pemilik suara, seorang gadis. Tak berapa jauh
mungkin, beda usianya denganku. Wajahnya berpeluh, namun seakan tabu mengikat rambut
ikal sebahu yang tergerai. Berkali-kali ia mengibaskan tangan kanannya,
berharap angin yang keluar dapat menghilangkan gerah. Baju tak berlengan dan rok
super mini yang ia kenakan tak bisa berbuat banyak, tampaknya. Hanya bisa
mengundang perhatianku. Sebentar-sebentar ia memeriksa telepon seluler dalam
genggamannya. Entah apa saja yang ditekannya. Cat kuku yang telah banyak
terkelupas di sana-sini menjadikan lebih terlihat seperti noda pada
kuku-kukunya.
“Ngelewatin
halte UI kan ya?”
Salah cari
tempat duduk, pikirku. Baru
saja niat bertanya jalan padanya, malah dia yang menanyaku lebih dulu.
“Ehm…
lewat kaya’nya. Emang mau kemana? ke UI juga?”
“Enggak,
mau ke rumah sodara. Baru kali ini naik angkot soalnya, takut salah…” katanya
sambil cengengesan. Terlihat noda hitam pada gigi depannya seperti anak kecil yang terlalu banyak
makan manis dan malas sikat gigi. Atau para pecandu rokok dan semacamnya.
Orang macam apa yang tak pernah naik bis di Jakarta? Yang terlalu kaya
atau sebaliknya terlalu miskin mungkin?
tak kuasa menahan pertanyaan yang bergelayut di
kepala. Mulailah hipotesa-hipotesaku menjalar. Membuat rangkuman dari semua
kemungkinan yang terpikir. Namun percuma, semuanya mentok dalam ruang prasangka. Tak ada salahnya bertanya, pikirku. Maka ku paksakan diri untuk bertanya. Hanya demi satu alasan. Penasaran.
“Biasanya
naik apa?”
“Naik
mobil, sama temen-temen… Tadi sebenernya aku juga bareng temen-temen ke Blok M
Plaza. Bilangnya sih mau nonton. Eh taunya pada janji ketemuan sama om-om. Ih…
aku misah aja… daripada kenapa-napa ya kan?”
Sungguh tak ada pikiran sama sekali akan mendapat
jawaban sepanjang dan se-terbuka itu… Namun kuladeni juga. Dengan enteng
kukatakan…
“Bajunya
seksi banget sih…”
ini salah. Mungkin. Aku tidak tau. Seharusnya mungkin aku tak boleh terlalu
ceplas-ceplos pada orang yang belum mengenalku, namun dalam hitungan
sepersekian detik sel-sel saraf dalam otak mengatakan bahwa apa yang kulakukan
sah saja, karena ia yang telah lebih dulu membuka pembicaraan yang bersifat
pribadi. Artinya, ya juga harus siap menerima komentar “khusus”.
“Iya kak,
tadinya tuh ga niat mo naek angkot begini… Tapi
daripada nemenin mereka nonton sama om-om, mending misah aja, jadi ke rumah
sodaraku.”
“Ooo….
Rumah saudara-nya di depok?”
“Iya. Aku
juga gak tau, kirain rumahnya di daerah Blok M, gak taunya udah pindah ke
depok. Di deket halte UI itu katanya.”
Sulit sekali rasanya untuk tidak
menilai seseorang dari penampilannya. Dengan sekuat tenaga ku alihkan pikiran
dari prasangka buruk yang mulai merajalela.
Kembali memikirkan seberapa lama lagi
bisa sampai ke tempat tujuan.
Lama kami terdiam. Sang Gajah masih
enggan beranjak juga, padahal jalanan selowong ini.
“Mau
kemana kak?” rupanya ia bertanya lagi padaku.
“ke
UI…”
“Kuliah
?”
“Nggak…
Lagi ada acara disana.”
“Ooo...
Acara apa kak?”
“Acara
UIfest. Ada festival teater.”
“Kakak
ikutan lomba?”
“Enggak,
dimintain tolong bikin koreografi aja. Hari ini mentasnya. Jadi mau nonton…”
“Ooo… di fakultas apa kak?”
“Acaranya
di FIB.”
“Mantanku
juga anak UI. Tapi dia anak politeknik.”
Aku hanya bisa membalas penyataannya dengan
senyuman.
Kamipun saling diam. Sibuk memerhatikan
pemandangan yang mulai tak dikenal. Kulihat ia beberapa kali menekan tombol HP
lagi.
“Halo…
iya bentar lagi nyampe. Ini udah di… hehehe… dimana ya ini kak?”
ia bertanya padaku. Aku sendiri sedang
berusaha mencari tau.
“pokoknya
tungguin aja. Ntar kalo udah di halte
UI gue telfon ya.”
Lalu celingukan mencari petunjuk jalan
yang bisa menjawab pertanyaannya.
“Ehm…
Emang rumah kamu dimana?” tanyaku akhirnya. Sungguh tak ada keinginan
mengenalnya lebih jauh. Karena aku tipikal orang yang malas berkenalan, apalagi
di dalam bis. Sekedar mengisi waktu dan ber-ramah-tamah padanya.
“
Di Tanjung Barat.”
“Lho…
bukannya dari situ malah lebih deket ke Depok ya?”
“
Iya, tapi kan tadinya ga rencana ke Depok. Lagian ini juga perginya nggak
bilang-bilang nyokap.
“Kenapa?”
“Males kak. Kalo
bilang ntar malah nggak boleh. Kabur aja” bibirnya kembali menyunggingkan
senyuman.
“Kok
nyokap bisa nggak tau kamu pergi?” pertanyaanku benar-benar sudah kelewat
batas.
“Kan
kerja.”
“Ooo...”
Tak berapa lama terdengar dering dari
telepon genggamnya.
“Halo… Iya bentar lagi. Ni macet. Nggak, gue nggak
dari rumah. Gue dari Kost-an. Tungguin aja ya. Lo masih di halte? Iya, gue
sekarang nge-kost. Di… Blok M. Udah tunggu aja ya.”
Ia terkekeh sendiri setelah mematikan
telepon genggamnya. Lalu entah berbicara sendiri atau ditujukan padaku.
“Biarin
aja dia taunya gue nge-kost.” Kutolehkan wajah sekedar merespon ucapannya
dengan senyuman.
“Ribet
kak, kan aku perginya nggak bilang-bilang. Dia nggak tau aku tadi pergi bareng
temen-temen…”
Padahal sungguh aku tak mau tau.
Sebegitu mudahnya ia membeberkan info pribadinya pada orang yang baru dikenal,
semudah ucapan bohong yang ia lontarkan sekehendaknya… untukku ini pemandangan
yang lumayan aneh.
Setelah menahan temperatur tinggi
sekitar hampir satu jam, barulah si Gajah menemukan jati dirinya sebagai bis.
Ia melaju kencang melalui jalan yang bercabang-cabang entah kemana arahnya. Ku
percayakan saja.
“Lah…
ini kan Lenteng Agung…” mendadak gadis di sebelahku berujar. Yang ternyata
hingga kini belum kutanyakan namanya. Terlalu.
“Yah… ini mah
deket rumahku… Ya ampun muter-muter aja. Ngapain naik Kopaja ya. Tau gitu tadi
naik 75 aja, cepet.”
Mungkin begitu gembira akhirnya dapat
mengenali jalan, sampai-sampai ia lupa tadi sempat mengaku tak pernah naik
angkot kepadaku.
Dengan cepat ia menekan tombol di
hp-nya.
“Halo…
eh, gue udah di lenteng agung nih… Nih bentar lagi nyampe IISIP. Lo Dimana?
Ketemuan di Pancasila aja ya? Oh… lo di deket IISIP. Ya udah tungguin gue
disitu ya. Ni bentar lagi gw sampe.”
Tak berapa lama ia pamit padaku dan
turun di IISIP. Meninggalkanku dengan beribu pertanyaan di benak.
Buat apa ia mengatakan tak pernah naik
angkot padaku, yang tak akan peduli mau seberapa seringpun ia naik bis?
Buat apa ia berbohong pada orang tua
hanya untuk pergi bersama teman?
Buat apa ia membohongi saudaranya jika
tak ingin saudaranya tau ia pergi bersama teman-teman?
Jangan-jangan rumah saudaranya bukan di
Blok M ataupun di dekat halte UI seperti yang ia sampaikan padaku tadi?
Jangan- jangan malah itu bukan
saudaranya?
Jangan-jangan ia tak ada bedanya dengan
teman-temannya yang senang membuat janji pertemuan dengan om-om?
Jangan-jangan malah semua yang
dikatakannnya tidak ada yang benar?
Untunglah semua pertanyaan dan
kecurigaan itu terhanyut dibawanya turun.
Menyisakan satu kisah yang menggedor
ambisiku untuk menyampaikannya pada siapapun yang sudi mengambil hikmah dari pertemuan
singkat dengan gadis kopaja tersebut.
Agar setidaknya, termasuk aku, mau lebih menaruh perhatian pada apa arti sebenarnya hidup kita.
No comments:
Post a Comment