Only human. Wanna be better.



Thursday, February 2, 2012

Kenyataan Terkisah


Siang yang panas. Deru debu menguap di sepanjang terminal blok M.
Kehadiran Kopaja mengakhiri penantian separuh waktu di trotoar.
Masih tersisa beberapa bangku kosong. Kupilih yang dekat dengan pintu keluar agar kaki masih bisa bernafas lega meski masih harus menekuk.
Kopaja melaju lambat seperti gajah yang tak kuat menahan berat bobotnya sendiri.


“Kak, ini bener bis ke depok kan ya?” tiba-tiba terdengar suara persis di sebelahku. 
Aku mengangguk. Pikiran yang telah jauh lebih dulu tiba di tempat tujuan, dengan secepat kilat tertarik kembali ke kepala yang mulai lembab tertutup kerudung di dalam bis sehangat ini.
Si pemilik suara, seorang gadis. Tak berapa jauh mungkin, beda usianya denganku. Wajahnya berpeluh, namun seakan tabu mengikat rambut ikal sebahu yang tergerai. Berkali-kali ia mengibaskan tangan kanannya, berharap angin yang keluar dapat menghilangkan gerah. Baju tak berlengan dan rok super mini yang ia kenakan tak bisa berbuat banyak, tampaknya. Hanya bisa mengundang perhatianku. Sebentar-sebentar ia memeriksa telepon seluler dalam genggamannya. Entah apa saja yang ditekannya. Cat kuku yang telah banyak terkelupas di sana-sini menjadikan lebih terlihat seperti noda pada kuku-kukunya.
            
“Ngelewatin halte UI kan ya?”
Salah cari tempat duduk, pikirku. Baru saja niat bertanya jalan padanya, malah dia yang menanyaku lebih dulu.
“Ehm… lewat kaya’nya. Emang mau kemana? ke UI juga?”
“Enggak, mau ke rumah sodara. Baru kali ini naik angkot soalnya, takut salah…” katanya sambil cengengesan. Terlihat noda hitam pada gigi depannya seperti anak kecil yang terlalu banyak makan manis dan malas sikat gigi. Atau para pecandu rokok dan semacamnya.
Orang macam apa yang tak pernah naik bis di Jakarta? Yang terlalu kaya atau sebaliknya terlalu miskin mungkin?  tak kuasa  menahan pertanyaan yang bergelayut di kepala. Mulailah hipotesa-hipotesaku menjalar. Membuat rangkuman dari semua kemungkinan yang terpikir. Namun percuma, semuanya mentok dalam ruang prasangka. Tak ada salahnya bertanya, pikirku. Maka ku paksakan diri untuk bertanya. Hanya demi satu alasan. Penasaran.
“Biasanya naik apa?”
“Naik mobil, sama temen-temen… Tadi sebenernya aku juga bareng temen-temen ke Blok M Plaza. Bilangnya sih mau nonton. Eh taunya pada janji ketemuan sama om-om. Ih… aku misah aja… daripada kenapa-napa ya kan?”
Sungguh tak ada pikiran sama sekali akan mendapat jawaban sepanjang dan se-terbuka itu… Namun kuladeni juga. Dengan enteng kukatakan…
 “Bajunya seksi banget sih…”
ini salah. Mungkin. Aku tidak tau. Seharusnya mungkin aku tak boleh terlalu ceplas-ceplos pada orang yang belum mengenalku, namun dalam hitungan sepersekian detik sel-sel saraf dalam otak mengatakan bahwa apa yang kulakukan sah saja, karena ia yang telah lebih dulu membuka pembicaraan yang bersifat pribadi. Artinya, ya juga harus siap menerima komentar “khusus”.

“Iya kak, tadinya tuh ga niat mo naek angkot begini… Tapi daripada nemenin mereka nonton sama om-om, mending misah aja, jadi ke rumah sodaraku.”
 “Ooo…. Rumah saudara-nya di depok?”
“Iya. Aku juga gak tau, kirain rumahnya di daerah Blok M, gak taunya udah pindah ke depok. Di deket halte UI itu katanya.”
Sulit sekali rasanya untuk tidak menilai seseorang dari penampilannya. Dengan sekuat tenaga ku alihkan pikiran dari prasangka buruk yang mulai merajalela.
Kembali memikirkan seberapa lama lagi bisa sampai ke tempat tujuan.
Lama kami terdiam. Sang Gajah masih enggan beranjak juga, padahal jalanan selowong ini.
“Mau kemana kak?” rupanya ia bertanya lagi padaku.
“ke UI…”
“Kuliah ?”
“Nggak… Lagi ada acara disana.”
“Ooo... Acara apa kak?”
“Acara UIfest. Ada festival teater.”
“Kakak ikutan lomba?”
“Enggak, dimintain tolong bikin koreografi aja. Hari ini mentasnya. Jadi mau nonton…”
“Ooo…  di fakultas apa kak?”
“Acaranya di FIB.”
“Mantanku juga anak UI. Tapi dia anak politeknik.”
Aku hanya bisa membalas penyataannya dengan senyuman.
Kamipun saling diam. Sibuk memerhatikan pemandangan yang mulai tak dikenal. Kulihat ia beberapa kali menekan tombol HP lagi.
“Halo… iya bentar lagi nyampe. Ini udah di… hehehe… dimana ya ini kak?”
ia bertanya padaku. Aku sendiri sedang berusaha mencari tau.
“pokoknya tungguin aja. Ntar kalo udah di halte  UI gue telfon ya.”
Lalu celingukan mencari petunjuk jalan yang bisa menjawab pertanyaannya.
“Ehm… Emang rumah kamu dimana?” tanyaku akhirnya. Sungguh tak ada keinginan mengenalnya lebih jauh. Karena aku tipikal orang yang malas berkenalan, apalagi di dalam bis. Sekedar mengisi waktu dan ber-ramah-tamah padanya.
“ Di Tanjung Barat.”
“Lho… bukannya dari situ malah lebih deket ke Depok ya?”
“ Iya, tapi kan tadinya ga rencana ke Depok. Lagian ini juga perginya nggak bilang-bilang nyokap.
“Kenapa?”
“Males kak. Kalo bilang ntar malah nggak boleh. Kabur aja” bibirnya kembali menyunggingkan senyuman.
“Kok nyokap bisa nggak tau kamu pergi?” pertanyaanku benar-benar sudah kelewat batas.
“Kan kerja.”
“Ooo...”
Tak berapa lama terdengar dering dari telepon genggamnya.

“Halo… Iya bentar lagi. Ni macet. Nggak, gue nggak dari rumah. Gue dari Kost-an. Tungguin aja ya. Lo masih di halte? Iya, gue sekarang nge-kost. Di… Blok M. Udah tunggu aja ya.”
Ia terkekeh sendiri setelah mematikan telepon genggamnya. Lalu entah berbicara sendiri atau ditujukan padaku.
“Biarin aja dia taunya gue nge-kost.” Kutolehkan wajah sekedar merespon ucapannya dengan senyuman.
“Ribet kak, kan aku perginya nggak bilang-bilang. Dia nggak tau aku tadi pergi bareng temen-temen…”
Padahal sungguh aku tak mau tau. Sebegitu mudahnya ia membeberkan info pribadinya pada orang yang baru dikenal, semudah ucapan bohong yang ia lontarkan sekehendaknya… untukku ini pemandangan yang lumayan aneh.

Setelah menahan temperatur tinggi sekitar hampir satu jam, barulah si Gajah menemukan jati dirinya sebagai bis. Ia melaju kencang melalui jalan yang bercabang-cabang entah kemana arahnya. Ku percayakan saja.
“Lah… ini kan Lenteng Agung…” mendadak gadis di sebelahku berujar. Yang ternyata hingga kini belum kutanyakan namanya. Terlalu.
“Yah… ini mah deket rumahku… Ya ampun muter-muter aja. Ngapain naik Kopaja ya. Tau gitu tadi naik 75 aja, cepet.”
Mungkin begitu gembira akhirnya dapat mengenali jalan, sampai-sampai ia lupa tadi sempat mengaku tak pernah naik angkot kepadaku.
Dengan cepat ia menekan tombol di hp-nya.
“Halo… eh, gue udah di lenteng agung nih… Nih bentar lagi nyampe IISIP. Lo Dimana? Ketemuan di Pancasila aja ya? Oh… lo di deket IISIP. Ya udah tungguin gue disitu ya. Ni bentar lagi gw sampe.”

Tak berapa lama ia pamit padaku dan turun di IISIP. Meninggalkanku dengan beribu pertanyaan di benak.
Buat apa ia mengatakan tak pernah naik angkot padaku, yang tak akan peduli mau seberapa seringpun ia naik bis?
Buat apa ia berbohong pada orang tua hanya untuk pergi bersama teman?
Buat apa ia membohongi saudaranya jika tak ingin saudaranya tau ia pergi bersama teman-teman?
Jangan-jangan rumah saudaranya bukan di Blok M ataupun di dekat halte UI seperti yang ia sampaikan padaku tadi?
Jangan- jangan malah itu bukan saudaranya?
Jangan-jangan ia tak ada bedanya dengan teman-temannya yang senang membuat janji pertemuan dengan om-om?
Jangan-jangan malah semua yang dikatakannnya tidak ada yang benar?
Untunglah semua pertanyaan dan kecurigaan itu terhanyut dibawanya turun.
Menyisakan satu kisah yang menggedor ambisiku untuk menyampaikannya pada siapapun yang sudi mengambil hikmah dari pertemuan singkat dengan gadis kopaja tersebut.
Agar setidaknya, termasuk aku, mau lebih menaruh perhatian pada apa arti sebenarnya hidup kita.







No comments:

Post a Comment