Only human. Wanna be better.



Tuesday, May 24, 2011

Dear paper



Dear paper,

Tepatnya tanggal 20 mei 2005,
aku: Janik Ashifa menyatakan putus dengan pria bernama Bisma Anggadi Putera.
Makhluk yang biasa disebut cowok memang sulit diharapkan.
Kerjaan jadi terasa semakin nge-BT-in.
Tambahan lagi gaji belum turun, sedangkan uangku sudah semakin habis.
Aku benar-benar sial bulan ini. Semua itu tak lain adalah karena dia.
Si bodoh yang berani mencuri hatiku sejak awal juli tahun lalu. Dialah Bisma.
Yang juga penjahat abadiku mulai saat ini.

Ada baiknya kuceritakan semua padamu, paper. Dimulai dari yang paling seru.

Kemarin kucoba habiskan waktu libur seperti cara orang-orang kebanyakan.
Having fun (niatnya..). bedanya  aku melakukannya sendiri.
Kenapa sendirian? Nanti kuceritakan di belakang.
Kupilih tempat yang strategis untuk ku, yang tak jauh dari rumah
(rumahku berada di daerah Blok A. hanya berjarak kurang lebih lima blok dari si kurus tinggi menyebalkan itu. Siapa lagi kalau bukan Bisma..)
Kupikir akan asik bila bisa menghabiskan waktu dengan membaca dan menulis cerita di perpustakaan.
Tapi bukan strategis namanya jika harus pergi ke Salemba hanya untuk melupakan rasa rindu yang lama terpendam pada Bisma (Bagian ini juga akan kujelaskan lebih lanjut nanti).
Aku hanya butuh refreshing.
Membersihkan debu-debu dan sarang laba-laba pada otak kananku.
Terlalu lama bekerja membuatku kaku dan kehilangan jiwa fun.
Baiklah, aku memilih Blok M. tempat yang selalu kukunjungi jika malas pergi jauh untuk shopping. Standart ya?


Sesampainya di sana aku sempat bingung harus apa.
Maklum, ini kali pertama aku pergi tanpa tujuan dan sendiri.
Aku memang tipe wanita yang senang menyendiri.
Tapi akibatnya,jika Bisma tak bisa diandalkan, habislah sudah temanku.
Sebenarnya tidak seburuk itu kondisinya. Temanku banyak dimana-mana
Tapi yang dekat denganku mungkin masih bisa dihitung.
Parahnya lagi, mereka yang masuk hitungan sudah sibuk dengan urusan masing-masing.
Jadi lebih baik si Janik yang tidak seperti wanita kebanyakan ini, pergi bersenang-senang sendiri.

Sampai mana aku tadi?
O iya, sesampainya di Blok M plaza, aku diingatkan oleh remaja-remaja usia sekolah yang mendominasi pengunjung bahwa ini hari senin.
Waktunya nomat.
Benar saja, keempat loket bioskop sudah diantri panjang oleh ABG-ABG ini.
Tapi apa boleh buat, kurasa hanya ini tempat yang cocok untuk lari dari masalah.
Untuk sementara waktu. Sekitar lima belas menit kemudian tiket akhirnya kupegang. Kupilih tontonan karya lokal tentang pergaulan bebas remaja. Sebelum menonton, kusiapkan perut untuk kenyang dulu.
Aku tak begitu suka mengunyah saat menonton.
Maka Italian food menjadi pilihan yang lezat sebagai makan siang.
Kebiasaan favoritku lainnya adalah memerhatikan orang-orang berlalu-lalang.
Selagi makan, kuperhatikan segerombol anak-anak jaman sibuk cekikikan
(sok tua sekali aku ini. Padahal mungkin jarak usiaku dengan mereka hanya selisih lima tahun)
Salah satu dari mereka ada yang sibuk menelepon dengan handphone nokia seri terbaru. Ada juga yang asik bermesraan.
Senang juga rasanya bisa memerhatikan orang lain tanpa takut dipergoki.
Tak ada satupun dari ratusan pengunjung sini yang kenal denganku.
Ya, satu-dua orang menegurku sih biasa. Paling-paling teman sekolah dulu.
Itupun tak makan waktu lama karena aku pura-pura ingin segera ke satu toko.
Padahal sebenarnya menghindari pertanyaan “kok sendirian?”.
Membuatku tambah muak mengingat Bisma.

Film yang kutonton benar-benar tidak mendidik.
Ingin dibilang apa sih mereka? Maksudnya sih bagus, mengingatkan kita agar waspada.
Tapi kok malah lebih dominan pamer paha pamer BH ?
apa benar itu bagus untuk ditonton remaja?
Aku saja malu sendiri melihatnya.
Huh.. sepertinya seluruh dunia sedang tidak bersahabat denganku.
Akupun menyerah. Lebih baik pulang.

Biar bagaimanapun, rumah tetap tempat ternyaman.

Begitu keluar bioskop, ternyata sudah jam enam sore.
Tapi masih banyak saja anak-anak SMU bertengger di pelataran.
Kulaui toko kaset, lalu tiba di pintu masuk bioskop.
Kulalui kerumunan hendak turun ke bawah.
Tapi apa yang terjadi? Aku melihat sosoknya!
Iya.
Bisma lima meter di depan berjalan ke arahku.
Terlihat ia bersama Rio sepupunya yang sebaya denganku .
Apa cuma kebetulan kita bertemu?
Tapi tidak mungkin.
Gimana bisa di satu mall yang besar, dengan tingkat tujuh atau delapan (aku lupa berapa tepatnya), aku bisa bertemu orang yang kusayang sekaligus kubenci disaat aku berniat untuk pulang?!
Padahal rumahku sekali lagi kukatakan hanya butuh waktu lima menit jalan kaki kerumahnya.
Perasaanku waktu itu jadi tidak menentu.
Bagaimana ini? Apa yang dia lakukan di sini? Dia mencariku ya?
Atau ini memang sekedar kebetulan?
Masih banyak lagi bentuk pertanyaan lain berkecamuk dalam pikiranku.
Kalau saja bisa kulihat wajahku waktu itu, pasti terlihat aneh.
Seperti orang yang ingin tertawa tapi tidak boleh.
Ya memang seperti itu keadaanku.
Antara senang dan marah.
Sementara pria itu belum mem-fokuskan matanya padaku.
Malah tampaknya ia sedang membicarakan sesuatu pada saudaranya.
Matanya mengarah kemana-mana. Tapi tidak padaku!
Kami sudah semakin dekat. Rio sudah menangkap sosokku.
Ia hanya cengengesan.
Sementara Bisma belum juga menyorotku.
Malah melihat ke arah bioskop.
Ada apa sih sebenarnya? Apa dia sengaja melakukan ini semua?
Tiba saatnya kami berpapasan.
Sengaja aku berhenti ditengah-tengah mereka.
Kutunggu reaksi Bisma.

Oh-my-God, kalian tau apa yang terjadi selanjutnya?
Dia tetap dengan cueknya terus berjalan meninggalkanku. What the..?!
Aku jadi semakin heran.
Sepupunya saja yang tidak begitu dekat denganku melihat, gimana dia bisa tidak melihatku sih? Jelas-jelas aku tepat didepannya. Berhenti pula.
Benar-benar tidak habis pikir.
Mungkin karena SMS-SMS ku pada malam sebelum kejadian.
Mungkin aku terlalu keras.
Tapi ini semua karena aku sudah tidak tahan diabaikan.
Profesinya sebagai filmmaker jelas membuat waktunya tersita untukku.
Sedang aku, bekerja di bagian redaksi majalah.
Dimana hari-hariku selalu dikejar date line.
Dua hari libur rasanya tak cukup untuk melepas lelah.
Tapi lebih tak cukup lagi jika dipakai untuk menanti kehadirannya.
Jadi malam itu kuluncurkan SMS-SMS hujatan padanya yang berani meninggalkanku begitu saja tanpa kabar berita.
Tak ada SMS, telepon, jangan harap datang ke rumah.
Jadi ada kemungkinan ia yang marah mencariku ke rumah saat kusudah pergi ke blok M. Dan dia yang buta itu hanyalah sebagian dari naskah dramanya dengan judul “perang dimulai”.
Tapi bagaimana kalau ini memang benar-benar kebetulan? Ah, tidak masuk di akal! Memang segitu invisible-nya kah aku?
Kalau seharian tadi sih memang serasa invisible.
Diantara segitu banyak wanita sebayaku, diantara begitu ributnya suasana plaza, aku tetap merasa sepi.
Baru ini merasa sendiri diantara ramai orang-orang.
Tapi begitu melihat Bisma,
hatiku langsung hangat sampai ke seluruh tubuh.
Hingga bibir ini dengan sendirinya melebar.
Sayangnya semua sudah telat.
Kenyataannya dia memang tidak (atau tidak mau) melihatku.

Aku benar-benar mati gaya saat itu.
Tak tahu harus bagaimana lagi.
Kulanjutkan saja perjalananku.
Kali ini langkah kupercepat agar lebih cepat pula menjauh dari mereka.
Sepupunya yang memang sudah melihatku sejak awal sempat bingung sendiri.
Masa bodoh, yang penting aku harus jalan secepatnya.
Tidak mau lihat ke belakang, ataupun ke kanan.
Karena saat itu aku panik, jadi lupa ada tangga jalan di dekat situ.
Malah berjalan menyeberang sehingga membuat posisi Bisma berada di sebelah kanan. Dalam hati sebenarnya ada juga rasa ingin dikejar.
Segaja atau tidak pertemuan tadi.
Mungkin itu juga yang membuatku tidak jadi turun ke bawah.
Sambil jalan, aku hanya melihat toko-toko di sebelah kiri.
Padahal melihatpun tidak.
Kakiku terus bergerak cepat, otakku terus berputar-putar.
“Janik dari mana?..” tiba-tiba suara nge-bass-nya terdengar di belakangku.
What? Dia di belakangku,
dan baru bertanya sekarang saat “tidak sengaja” bertemu?
Aku ada disini agar bisa melupakan rasa ingin bertemu kamu yang tidak pernah kesampaian tau! Coba kutanya, mana yang benar:
kerja untuk hidup atau hidup untuk kerja sih?

Sayang sekali itu semua hanya pertnyaan-pertanyaan dongkolku yang berteriak-teriak dalam hati.
Tapi tak bisa kukeluarkan. Bibirku kelu.
Malah kaki ini mengajak berjalan tambah cepat.
Sementara pandangan kini hanya bisa lurus kedepan. Adapula sedikit.
Sedikit sekali rasa senang karena akhirnya ia mau mengejarku.
Terlepas dari semua masalah-masalah ini.
Lalu ia berkata lagi, perkataan yang menurutku sungguh tidak tepat mengingat perasaan senangku tadi.
Walaupun sedikit.
“maaf, aku enggak ngeliat kamu tadi, Nik” begitulah kira-kira bunyinya.
Gila! Ternyata dia benar-benar tidak melihatku.
Kalau tidak salah tinggi badanku tidak beda jauh dengannya.
Apa segitu “biasa”nya kah aku?
Hingga orang yang “spesial” tidak bisa menandaiku segitu dekatnya?
Sampai situ ternyata ke-kurang peduliannya padaku.
Sedang aku, radius 50m, sejauh mata bisa melihat sosok saja, asalkan ada yang mirip dengannya, aku pasti melihatnya.
Telah terbukti!
Tak terasa sudah hampir mencapai satu lantai kebawah saking jauhnya berjalan.
Diapun terus mengikutiku dari belakang.
Aku sama sekali tak mau melihatnya.
Padahal tadi ia terlihat sederhana dan begitu menawan.
Kurus memang, tapi bersih. Aku suka.

Tapi tidak.. semuanya sudah telat.
Saat itu kudengar ia terus memanggilku.
Menyuruhku untuk menatapnya. Atau paling tidak menghentikan langkah.
Lalu ia berkata lagi
“Janik, aku ada janji sama sutradaraku di atas..”
DUARR..
Ternyata benar.
Dia kesini bukan untukku.
Aku terlalu GR.

Memang kalau dipikir-pikir, dia tidak mungkin melakukan hal segila itu.
Mencari jejakku di satu gedung yang luas hanya untuk bertemu denganku.
Bodohnya aku.
Jangankan melakukan spekulasi untuk bertemu denganku, selama ini ia memang tidak pernah punya kejutan menyenagkan atau menyedihkan sekalipun.
Ia tak pernah mau melakukan sesuatu yang kata orang “dibela-belain” untukku.
Jangan harap. Cintanya biasa saja.

“Mas ke atas ya..”
Sakit sekali mendengar perkataannya.
Mataku mulai berenang di kolam air mata.
Tapi ia terus mengulangi ucapannya.
Memanggil-manggil namaku.
Agar aku menghentikan langkah atau sekedar mengiyakannya.
Atau bereaksilah.
tidak sekedar berjalan, diam dan memalingkan wajah.

Tapi coba tebak apa jawabku?

“Janik enggak mau liat muka mas Bisma lagi..”

Tiba-tiba saja kata-kata itu keluar dari mulutku.
Dari sekian banyak kutukan dan rasa rindu untuknya yang bersahut-sahutan berisik di kepala.
Dalam hati, rasa ingin diperhatikan lebih selalu ada.
Mungkin inginku ia merayu dan meredakan amarahku.
Tapi ia yang tak dapat membaca jalan pikirku, malah memintaku mengulangi kalimat yang kuucapkan tadi.
“kenapa?” tanyanya.
Mungkin ucapanku terlalu pelan.
Pasti tidak terdengar.
Siap-siap kuulang lebih keras. Kali ini lebih pasti.
Aku mau menanggung apapun resikoya.
Kurasa cukup banyak aku dikecewakan.
Cukup banyak pula aku mengecewakannya.
Cukup banyak situasi yang menghalangi kita.
Semakin memberitahu, apa yang kita lakukan ini salah.
Hubungan ini salah. Tidak semestinya.
Kebetulan peristiwa ini yang menjadi pencetusnya.
Saatnya kujauh dari Bisma.

“Janik enggak mau liat muka mas Bisma lagi”

Ternyata semua terlihat lebih pahit dari dugaan bila telah benar-benar terjadi.
Dari sudut mata kurasakan ia langsung berbalik arah dan menjauh.
Menuju tempat pertama kita bertemu tadi.
Akupun terus pulang kerumah.
Di sepanjang jalan air mata yang tadi hanya menggenang kini tak mampu lagi kutahan. Sampai dirumah, aku berlari ke kamar.
Pintu kukunci dan menangis sepuasnya.
Kenapa dia begitu tega? Membiarkan aku pergi sendiri, pulang sendiri.
Aku ini pacarnya bukan sih? Kalau iya, kenapa tak dapat kurasakan sama sekali?

Hingga malam hari handphone-ku tak berbunyi sekalipun.
Bodohnya lagi, aku masih mengharapkannya.
Tapi sampai kapanpun kutunggu, ia tetap tak akan muncul.
Cukup sudah!
Aku benci menjadi wanita lemah!
Aku juga bisa bergerak bebas kok tanpanya!
Tapi keputusan tetap tidak boleh sepihak.
Aku akan bicara padanya malam ini.
Bahwa ingin hubungan kita selesai.
Tumben malam ini ia ada dirumah.
Jadi kuminta mas Bisma datang kerumah.
Atau kuanggap ia setuju kami berpisah (jahat ya..)
Jadi untuk sementara itu dulu ceritaku, paper.
Panjang ya? Nanti akan kulanjutkan lagi untuk menceritakan keputusan akhirnya.
                                                                                                           love, Janik


Dear paper,
Akhirnya ia mau datang juga.
Heran, melihat wajahnya tadi yang layu datang padaku, rasanya jadi ingin sekali memanjakannya.
Ia duduk disampingku.
Mulanya kami canggung.
Lalu dengan tegas kuungkapkan semua niatku.
Semua uneg-uneg mulai dari kesibukannya sampai masalah kemarin.
Pertengkaran mulutpun tak bisa dihindari.
Aku yang keras merasa perbuatannya itu tidak masuk akal,
tapi memang begitulah adanya menurut Bisma.
Begini katanya
“Selama ini kita sering berantem, memang.
Tapi kamu sadar enggak kalau masalahnya tuh sebenernya bukan kita?
Aku enggak maen cewek atau buat onar di belakang kamu kan?
Dan aku yakin kamu tau kalo aku sayang banget sama kamu.
Mau nerima apa adanya kamu.
Emang mas nggak suka sifat kamu kalo lagi ngambek kaya’ gini.
Tapi aku tetep berusaha cari cara yang enak untuk ngasih tau kamu.
Ngebenerin “kabel-kabel” yang salah di kamu.
Bukannya malah pengen ngejauh, Nik.
Bener-bener nggak ada sama sekali niat untuk pisah.
Karena mas yakin banget emang kamu yang pas buatku.
Sekarang kalo kamu marah kaya’ yang udah berulang kali terjadi karena masalah kerjaan nuntut banyak waktuku, I give up.
Maafin mas yang baru bisa punya kerjaan kaya’ gini.
Tapi coba liat lagi deh. Siapa yang kamu salahin sebenernya?
Aku atau Keadaan ?
kalau keadaan itu enggak bisa dikeluhin.
Bisanya disiasatin.”

Segitu panjangnya ia bicara, aku hanya bisa diam.

“kalau soal kabar, emang salahku juga bener-bener hilang gitu aja.
Aku minta maaf.
Dan mau berusaha ngerubah.”
Seperti biasa, semua omongannya  benar-benar masuk mengobrak-abrik jalan pikirku.
“Sekarang aku minta pengertian kamu sama mas Bim yang masih begini.
Masih lho.
Mudah-mudahan enggak seterusnya.
Kalo emang kamu nggak bisa terima apa adanya aku sekarang, aku bener-bener nggak bisa apa-apa.
Yang jelas aku enggak mau kita pisah.
Tapi aku lebih enggak mau kamu sakit terus.
Apalagi karenaku. Jadi semua terserah kamu sekarang.
Tapi aku butuh jawabannya. Supaya kita kedepannya lebih jelas.”

Sebal. Kenapa dia begitu menyebalkan. Air mataku jatuh lagi tadi.
Tapi mas Bisma diam saja.
Tidak seperti biasanya yang selalu meredakanku.
Saat itu juga aku merasa sangat kehilangan seseorang yang paling kusayang.
Dia yang penyabar, mengerti dan selalu sayang padaku.
Tak pernah selama ini ada hal-hal yang membuatku curiga padanya.
Dia begitu jujur dan terbuka.
Dialah pembimbingku, kakak, sahabat, pacar yang setia, dan rumah sejukku.
Tapi dibalik semua itu, aku juga lelah merindukannya.
Sulit sekali menahan-nahan rindu seminggu lamanya tanpa kabar sedikitpun sampai hari liburku tiba, hari yang ku tunggu-tunggu  tapi ternyata selalu saja ia tetap sibuk dengan urusannya.
Aku bingung.
Benci sekali jika dihadapkan pada pilihan yang sulit seperti ini. 
Tak ada lagi kata-kata terucap.
Malah hal yang paling kuhindari terjadi.
Airmataku tak mau berhenti mengalir.
Dada terasa sesak.
Aku sadar semua ini bukan sepenuhnya salah mas Bisma.
Dan keputusan ada padaku.
Maka kutarik nafas sekuat hati, dan berkata

“..Maafin aku. Anik kangen baget sama mas Bim..”

saat itu juga tangisku meledak.
Tapi tetap kutahan karena takut terdengar ke dalam rumah.
Tapi lega rasanya semua sudah dibicarakan.
Bisma meraih tanganku yang sibuk menghapus air mata.
Ia menggenggam erat sekali.
Seketika deritaku hilang.
Diciumnya keningku lalu mengusap air mata yang masih mengalir diwajah.
”udah, jangan nangis. Aku ada berita bagus. Mudah-mudahan bisa ngibur kamu.”
Kutarik nafas dalam-dalam.
Butuh waktu beberapa menit sampai keadaanku bisa normal kembali.
Baru ia mulai teruskan bicara.
“film-ku ini udah hampir selesai. Insya ALLAH launching-nya bulan depan.
Terus aku diterima in-house di post-production yang lumayan berkualitas.
Gajinya 10juta sebulan.
Boleh tetap kerja sampingan lagi, selama enggak ngegganggu primary job-ku.
Bos-nya pernah nge-hire aku dulu, jadi dia tau gimana aku dan skill-ku.
“oya?.. seneng banget..” jawabku.
“iya, teruss.. jadinya aku niat ngelamar kamu setelah launching film ini.
Kamu mau jadi istrinya mas Bisma nggak?”
bukan main senangnya.
Mungkin bila digambarkan,isi hatiku seperti jet coaster yang turun-naik dengan kecepatan tinggi.
“aku bakal nyesel banget kalau tadi jadi mutusin kamu, mas”
“iya, jawab dulu. Mau enggak?
Kan malu juga kalau udah ngomong sama ayah kamu tapi malah kamunya enggak mau..”
“ehm.. gimana ya..” kataku mulai meledek
“Nik.. serius nih!”
”kenapa mesti dijawab sih? emang mas nggak tau jawabannya, apa?”
“Mas harus mastiin. Takut salah..”
Aku hanya tersenyum malu.
Wajahku mulai memerah.
“Ya udah, gini deh. Kalau aku Tanya kamu diem aja, berarti mau… “ katanya memaksa.
Aku masih diam
“Janik, kamu mau nggak jadi istriku?”
“Satu..dua..tiga..”
aku tetap tersenyum menatap wajahnya penuh cinta.
“Ya! Berarti mau” katanya senang
“ah.. tapi nanti nangis melulu lagi, setiap aku pergi kerja..”
dasar Bisma.
Kalau keadaan sudah baik kembali, pasti ada saja ulahnya yang membuatku jengkel.
Yang membuatku selalu rindu padanya.
Untung aku memilih untuk tetap bertahan, paper.
Coba kalau tidak sabar sedikit saja, tak terbayang penyesalannya karena menolak rezeki yang datang..hehe..
semoga ini bisa menjadi pelajaran bagi semua.

                                                            -tamat-                                                           


diel

No comments:

Post a Comment