Seorang anak menulis surat untuk ibunya. Karena begitu sulit menemukan waktu untuk dapat mengutarakan isi hati yang selama ini sesak menghambat jalan napasnya.
Bu, maaf aku mesti nulis gini. Aku ga pernah bisa ngomongin ini langsung ke ibu. Udah nyoba berkali-kali, tapi mulut susah kebuka. Malah mata yang ga bisa nahan air yang jatoh.
Aku cuma mau bilang, aku rindu ibu. “Ibu” yang katanya selalu ada untuk aku. Dengerin keluh-kesahku. Ngebelain aku sepenuh hati kalau aku lagi dimusuhin orang dan ngasih tau aku gimana harusnya ngadepin setiap masalah.
Aku merasa nggak kenal sama ibuku sendiri. Aku cuma tau ibu adalah orang yang udah membawaku ke dunia, masukin aku ke sekolah yang bagus, ngerayain tiap ulang tahunku dengan hadiah-hadiah mahal yang padahal belum tentu aku suka.
Aku ada nggak sih bu? Ibu tau nggak sih kalo aku ada? kalo jawabannya enggak, mending sekalian aja aku nggak ada di rumah ini. Kalau jawabannya ada pun, akan tetap ada pertanyaan untuk ibu. Dimana posisiku berada, bu?
“Kamu udah bosen ya sama aku?”
Suami yang sedang asyik menatap laptop-nya tak mendengar perkataan sang istri. Serta-merta sang istri yang begitu emosi menariknya berdiri menjauhi laptop dan mendorong kuat dada si suami sambil terus marah dan menangis
“Buat apa?
Buat apa kamu nikahin aku kalau cuma dijadiin pajangan? Bahkan lebih bagus pajangan karena masih sering dilihat oleh yang memajangnya.
Jadi buat apa? Apa sih yang ada di pikiran kamu sekarang? Uang? Aku nggak minta kamu numpuk uang.
Status? Apa mungkin kamu nyesel sekarang karena status beristri ternyata membebani?
Atau keturunan? Apa kamu nggak bisa terima kenyataan bahwa ternyata aku nggak bisa ngasih kamu anak? Iya?
Maaf kalau aku udah masuk mengobrak-abrik tatanan hidup kamu.
Maaf kalau aku mungkin nggak bisa ngasih apa yang kamu mau.
Tapi tolong jawab pertanyaanku.
Apa masih ada aku di kamu?”
Di sebuah gedung mewah, seorang bawahan mendapat teguran dari atasannya. Akibat penurunan kinerjanya dari hari ke hari.
“Kamu kenapa? Terus terang saya kecewa sekali pada hasil kerjamu akhir-akhir ini. Sekaligus malu karena tidak bisa membuktikan bahwa kamu pantas duduk di ruangan ini. Oke, saya bisa memahami, aslinya kamu tidak seperti ini. Tapi tidak dengan orang-orang yang duduk di kursi rapat barusan. Jadi tolong, apapun masalahmu di luar sana, cari solusi sesegera mungkin. Saya mau lihat yang masuk dari pintu itu bukan hanya kamu badanmu. Tapi kamu, badan dan pikiranmu. Ok?”
Di tengah jalan sepi, seorang pemuda mabuk karena frustasi. Tak kuat menghadapi musibah yang menimpa dirinya. Sambil terhuyung, tangannya merentang, kepalanya menengadah dan berteriak-teriak pada langit.
“Hai Tuhan… Apalagi yang akan terjadi padaku? Mengapa harus aku yang menerima semua ini sementara jutaan manusia lainnya enak-enakan tidur dengan segala kenyamanannya? Padahal susah payah aku berusaha. Mengapa mereka yang kenyang memakan untung dari hasil menggadai keringatku Tuhan? Kenapa kau diam saja Tuhan? Mengapa kau membiarkan aku seperti ini? Apa aku kau anggap tidak ada? hingga aku terluput dari kesenangan dan kenyamanan seperti yang kau berikan pada orang-orang itu? ini aku Tuhan… Kemana saja kau selama ini…???”
dan semua menuntut
dan semua lupa
Dia selalu ada. Kemana saja kau selama ini?
No comments:
Post a Comment