Only human. Wanna be better.



Friday, June 2, 2017

Bagaimana Bisa...

Bagaimana bisa negara yang aman, damai, tentram seketika ricuh?
Bagaimana bisa berduyun-duyun manusia menyuarakan amarahnya tanpa kerusuhan, namun tetap dianggap intoleran?

Bagaimana bisa orang yang tunduk pada Tuhannya dianggap menentang Pancasila, yang mana kita semua tahu bahwa KETUHANAN menjadi sila pertamanya?

Bagaimana bisa seseorang yang jelas mengakui dirinya telah berucap melewati batas hingga dihukum, lalu gerombolannya teriak-teriak karena merasa ada diskriminasi? 

Bagaimana bisa para peminta keadilan dianggap radikal sementara para penghina ulama dianggap korban kezholiman?

Bagaimana bisa anak bau kencur dari pelosok daerah tiba-tiba terkenal dan diundang ke Istana negara karena isi status facebook nya yang terkesan unik dan berani? padahal ketika di wawancara, dengan bangganya ia meneriakkan kedamaian sambil merendahkan saudara se-aqidahnya sendiri. Kasihan, anak itu baru melihat dunia dari satu sisi, sudah buru-buru diangkat tinggi ke permukaan, dipuji kepintarannya, hingga membuatnya sulit melihat problema hingga ke akar permasalahannya.

Bagaimana bisa setumpuk rasa ketidak adilan mandek di meja keadilan? apakah karena aparatnya tebang pilih?

Bagaimana bisa sekumpulan buih ini masih dianggap bodoh, yang mau saja menelan mentah-mentah apa kata televisi tanpa menelaah sumbernya langsung?

Bagaimana bisa kegaduhan ini seakan tak bisa reda? Bahkan arang yang telah redup pun ditiup-tiupkan agar terus membara, seolah tak sudi padam.

Bagaimana bisa mengobati sakit tanpa dicari tahu apa sebenar penyakitnya?

Coba perhatikan lagi saudaraku, siapa yang sebenarnya memelihara dendam?

Coba ingat-ingat lagi saudaraku, siapa yang awalnya memulai kebencian?

Bagaimana bisa kita bersatu selagi masih saling menyerang?
Kemana perginya para manusia yang beradab?
Bahkan yang mengajak musyawarah pun dianggap mengancam, lalu dimana rasa keadilan sosial?
Mana bukti cinta kita yang menjunjung tinggi Pancasila?

Kalau memang Pemerintah sama hal-nya dengan Orang Tua, maka anak-anak ini tak akan bisa bersikap manis selama Orang Tuanya sendiri masih membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain. Selama Orang Tua hanya terus mengancam dan menghukum, tanpa menenangkan dan memberi tauladan.
Maka anak yang di cap "nakal" oleh Orang Tuanya hanya akan terus nakal. Karena ia hanya ingin keluh kesahnya didengar, diperhatikan, dan diberi hak yang sama dengan anak lainnya. Bukan dikurung, dibungkam dan diabaikan. Sementara Orang Tua membiarkan anak-anak lain mengejek dirinya.

Tulisan ini pun keluar dari pikiran seorang Ibu yang sedih memperhatikan perkembangan negeri Indonesia tercinta ini. Dimana Islam berkembang subur berkat tanahnya yang gembur. Begitu suburnya hingga tak terasa lagi seberapa mahal keyakinan yang kita miliki, untuk ditukar dengan jabatan dan eksistensi.

Pun tulisan ini tidak akan sampai ke halaman istana negara, karena saya termasuk kategori anak yang nakal, tidak nurut perkataan Orang Tua.
Mungkin yang membaca hanya orang-orang dekat yang hanya bisa tersenyum atau meledek bila berpapasan di dunia nyata.

Alhamdulillah, paling tidak, saya yang bodoh ini masih punya kesempatan untuk bersuara.

No comments:

Post a Comment