Di mata murid, guru adalah orang sakti yang memiliki berjuta gudang rahasia penyimpanan ilmu.
Apa yang dikatakannya selalu baru, tak terpikirkan, dan mencerahkan.
Seakan tiap-tiap gudang tersebut memiliki ruangan yang berhektar-hektar luasnya hingga tak pernah takut kehabisan stok ilmu untuk dikeluarkan.
Di mata guru, murid adalah pengembara tangguh yang memiliki berjuta rasa penasaran untuk menjelajah semua lembah, hutan, pantai, bukit, gunung, langit, apapun yang bisa diraih.
Pertanyaan yang tak kunjung habis membuatnya tak sudi lelah.
Mencari. Menggali. Menganalisa.
Seakan ia memiliki lahan kosong yang tak terhitung luasnya untuk sesegera mungkin ditanami ilmu.
Tidak boleh sembarangan bicara dengan murid. Salah-salah ia akan menelan semua perkataan gurunya mentah-mentah.
Dan satu saat nanti akan ia muntahkan mentahan itu entah dimana.
Atau sebaliknya, bagai bumerang ia berbalik menyerang gurunya dengan berbagai sanggahan, pledoi, hipotesis dan hujan kritik. (kali ini mungkin filternya terlalu canggih).
Jangan pula menganggap enteng guru.
Meskipun begitu banyak gudang- gudang pribadinya,
Ia tidak serta-merta “foya-foya” menghamburkan hartanya.
Tak peduli di cap “kikir, pelit, bakhil”.
Dengan segala kerendahan hati dan kebijaksanaan, ia membiarkan murid mengembara.
Membebaskan nalar berkreasi.
Sambil mengikuti dari belakang.
Siaga mengarahkan bila tersesat terlalu jauh.
Barulah saat itu ia berikan lagi secuil isi gudangya.
Sang murid yang wajahnya terpampang dalam diri si Guru adalah ia yang selalu coba memahami.
Merasa rugi jika ada sehurufpun tertinggal dari apa yang diterimanya.
Tak pernah puas membandingkan olahannya dengan sumber lain untuk di-obrak-abrik lagi bersama gurunya.
Setelah mendapat titik terang, segera ia bersiap diri untuk coba mempraktekan.
Melaju dua-tiga kali lebih cepat dari gurunya. Malah bahkan menghadirkan sesuatu yang lebih baru.
Tidakpun malu menunjukkan. Se-ringan apapun hasil karyanya.
Melaju dua-tiga kali lebih cepat dari gurunya. Malah bahkan menghadirkan sesuatu yang lebih baru.
Tidakpun malu menunjukkan. Se-ringan apapun hasil karyanya.
Sang Guru yang suaranya terngiang di kepala si Murid, adalah ia yang selalu mengerti.
Seakan bisa merasuki pikiran, tanpa dijelaskanpun ia tau apa yang sedang dibutuhkan murid.
Menambal kekurangan dengan sabar yang tak bertitik.
Membangun semangat tanpa memaksa untuk bangkit.
Bersedia hari-harinya di-obrak-abrik pertanyaan dan kritikan.
Rela mendengar ocehan panjang tanpa menyepelekan apalagi menyudutkan.
Rela mendengar ocehan panjang tanpa menyepelekan apalagi menyudutkan.
Tidakpun malu menawarkan diri untuk menjadi murid.
Pertanyaannya sekarang adalah…
“enak mana, jadi guru atau jadi murid ?”
No comments:
Post a Comment